Posted by : Sabiq A.Z. Jumat, 02 Mei 2014


Malang- Pada khutbah Jum’at di Masjid Al-Ghazali kali ini dipimpin oleh khatib dari salah satu ustadz Pesantren Mahasiswa Al-Hikam yaitu Ust. Munjin Nasih, M.Ag. Seperti biasa, pada awal khutbahnya ia mengajak para jamaah jumat untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Allah Swt. Dalam khutbahnya, ia juga menerangkan tentang fadhilah-fadhilah bulan Rajab.
Persis pada hari Jumat ini bertepatan dengan tanggal 02 Rajab Hijriah. Pada bulan ini, sebagian saudara muslim kita melaksanakan puasa awal bulan Rajab dan sebagian muslim lain ada yang kurang sepakat dengan kegiatan puasa pada awal bulan rajab. Mereka yang tidak menyepakati karena berargumentasi bahwa hadits yang melandasinya adalah hadits dhaif sehingga tidak bisa melandasi amalan itu. Namun sebenarnya, salah satu ulama, seperti Imam Nawawi Al-Bantani, mengatakan bahwa amalan-amalan yang dilandasi oleh hadits dhaif tetap bisa dilaksanakan karena itu hanya memperkuat amalannya dengan merujuk pada fadhilah-fadhilah amalan itu seperti puasa bulan rajab. Terjadi perbedaan pendapat mengenai argumen ini, namun yang terpenting adalah bukan mempersoalkan apakah puasa itu boleh atau tidak. Hal yang menjadi persoalan adalah bagaimana antar sesama muslim dapat menghargai perilaku muslim lainnya. Bagi mereka yang berpuasa tidak merasa baik karena ia berpuasa sehingga ia menghina yang tidak berpuasa. Sebaliknya, mereka yang tidak berpuasa karena alasan hadits dhaif tidak mencaci yang berpuasa.
Bulan rajab juga identik dengan momentum Isra’ dan Mi’raj. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan peristiwa yang menakjubkan sekaligus menjadi awal diperintahkannya shalat lima waktu bagi seluruh kaum muslim. Terjadi suatu perbedaan pendapat mengenai apakah Isra’ dan Mi’raj itu penyempurnaan shalat dari shalat-shalat sebelumnya karena sebelum peristiwa Isra’ dan Mi’raj terdapat shalat-shalat yang dilakukan oleh Nabi Muhammad bahkan oleh nabi sebelumnya seperti Nabi Daud dan Isa. Namun itu bukan menjadi permasalahan yang akan dijelaskan panjang disini.
Hal yang menjadi substansi dari momentum diperintahkannya shalat pada Bulan Rajab ini adalah seberapa jauh kita merenungkan shalat yang kita laksanakan. Berapa rakaat yang kita lakukan sampai saat ini ? Lebih dalam lagi, seberapa berkualitas shalat yang kita dirikan. Itulah hal yang layak kita renungkan bersama. Dalam Al-Quran surat Al-Ankabut ayat 45 :
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (45)
Disebutkan di atas, bahwa shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Namun pada faktanya, banyak muncul perbuatan keji dan munkar di sekeliling kita. Bahkan, mungkin sekali perbuatan itu kita lakukan bersamaan kita melakukan rutinitas keagamaan seperti shalat.
Padahal, dalam Ayat Al-Quran yang lain disebutkan dalam surat Al-Maun yang menerangkan bahwa apakah kamu tidak mengetahui tentang orang yang mendustakan agama ? merekalah yang menghardik anak yatim, merekalah yang tidak berempati terhadap orang miskin. Lalu disebutkan celakalah bagi orang yang shalat. Mereka lalai dalam shalatnya.
Dalam ayat itu sangat jelas, menerangkan bahwa keseimbangan antara shaleh personal (shalat) dengan shaleh sosial (peduli dan empati terhadap yatim dan fakir miskin) menjadi hal yang tidak boleh dipisahkan. Terkadang, kita menganggap bahwa shalat itu satu sisi dan peduli dengan sesama adalah sisi lain. Itu adalah keliru ! Karena dalam surat Al-Ma’un dijelaskan bahwa pendusta agama adalah mereka yang tidak memiliki rasa empati dan kepedulian terhadap anak yatim dan fakir miskin. Dan benar-benar celaka bagi mereka yang shalat namun ia lalai dalam shalatnya. Jangan sampai shalat yang kita lakukan menjadi sebuah ritual tanpa makna, menjadi rutinitas keseharian yang tidak berdampak.
Dengan khutbah yang singkat ini, kita berharap agar allah senantiasa memberikan kita kekuatan untuk berusaha selalu memperbaiki kualitas shalat kita dan juga berusaha memiliki empati dan kepedulian terhadap sesama manusia terutama kepada anak yatim dan fakir miskin sehingga shaleh yang kita miliki tidak hanya bersifat individual atau personal namun shaleh kita juga bersifat sosial.(zul)

            
           Disampaikan oleh Ust. Munjin Nasih di Masjid Al-Ghazali Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang pada Jum'at 02 Mei 2014.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

- Copyright © Pena Al-Hikam -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -